Rabu, 17 Juni 2009

Sby lebih bahaya dari Soeharto


Puisi Bertutur Emha Ainun Nadjib, Musik Kiai Kanjeng
Dewan Kesenian Surabaya, Komunitas Bangbang Wetan
Taman Budaya ‘Cak Durasim’ 9-10.06.2009

Nostalgia setelah 25 tahun
Pentas ‘Presiden Balkadaba’ 9-10 Juni 2009 pkl 19.30 WIB di Taman Budaya ‘Cak Durasim’ Surabaya ini sebenarnya merupakan semacam ‘nostalgia’ terhadap pementasan yang nuansanya, oleh pelaku yang sama dan di tempat yang sama 25 tahun silam.
Ketika itu Emha Ainun Nadjib mementaskan musik-puisi bersama Kelompok Musik Teater Dinasti Yogya, yang personilnya relatif sama dengan para personil KiaiKanjeng sekarang ini. Bahkan satu dua bentuk pemanggungan, misalnya penggunaan semacam ‘dampar’ di focus panggung, juga diusahakan untuk diulang.

Lebih berbahaya disbanding Suharto
Yang berbeda adalah temanya, karena eranya juga tidak sama. Tetapi model estetikanya, wawasan sosialnya, serta penyikapan politiknya, boleh dikatakan sama seperti 25 th yll. Bedanya ketika itu rezim yang berkuasa adalah Suharto, sekarang rezimnya adalah SBY.

“Secara substansial kekuasaan SBY tidak ada bedanya secara sistem maupun ideologis dengan Orbanya Suharto”, kata Cak Nun, “Cuma SBY sangat beruntung karena belajar dari kesalahan-kesalahan Suharto. Bukan belajar untuk tidak mengulanginya, melainkan belajar untuk menyelenggarakan hal yang sama namun dengan metoda, kehalusan, ketidak-kentaraan dan semacam eufemisme-politis-ideologis yang sesungguhnya jauh lebih berbahaya disbanding rezim Suharto”.


Menurut Cak Nun, berbagai stigma popular yang mendasari kebencian publik kepada Suharto, misalnya KKN, berhasil dimodifikasi oleh SBY melalui retorika politik atau atau aplikasi-aplikasi yang sangat tidak kentara, sehingga ia justru menjadi ‘bintang film’nya banyak rakyat. “Ada baiknya kaum intelektual pengamat politik menyelenggarakan penelitisan yang seksama untuk membandingkan tingkat KKN Suharto dengan SBY”, kata Cak Nun.

Siklus Lima Millenium
KiaiKanjeng mengaransir secara khusus sejumlah musik ‘Balkadaba’ khusus untuk pentas ini. Sementara Emha membawakan lebih dari 8 puisi cukup panjang yang memuat berbagai substansi tema dan problematika bangsa Indonesia.
“Balkadaba itu pijakan untuk berangkat menuju dimensi-dimensi nilai keIndonesiaan yang dipaparkan”, kata Cak Nun, “tapi sebenarnya Balkadaba adalah juga sebuah tema tersendiri yang tak kalah seriusnya. Tentu jangan sekarang saya uraikan itu. Sekedar untuk pintu masuk saja, Balkadaba adalah salah satu hewan yang diizinkan naik Kapal Nabi Nuh, di mana Iblis menyelundup masuk dengan berpegangan pada ekor Balkadaba. Anda silahkan mengassosiasikan Balkadaba dengan kadal, komodo, dinosaurus, sampai ke Dabbah, yakni binatang super raksasa yang akan muncul menandai akhir zaman, di mana Imam Mahdi atau turunnya kembali Nabi Isa AS akan berduel melawannya”.
Secara khusus, menurut Cak Nun, sedikit diungkap juga bahwa posisi kosmis bumi tahun-tahun sekarang ini di bagian terbawah dan bergalir lurus dengan Alcione, pusat dari seluruh matahari yang ada di konstelasi galaksi-galaksi – tidak rasional kalau tidak berpengaruh terhadap instabilitas wadag bumi hingga ke atmosfirnya, terhadap kondisi kejiwaan manusia secara menyeluruh, sehingga akan juga menggiring situasi-situasi sosial dan politik menuju suatu jenis krusialitas yang mungkin dahsyat yang hanya terjadi dalam siklus lima Millenium.

Negara tidak diperlukan lagi
Lantas apa itu Kabinet ‘Laba Untuk Rakyat’? Cak Nun mengemukakan hal itu merupakan respons terhadap dua tema besar bangsa Indonesia saat ini. Pertama, Presiden dan pemerintahan macam apa serta sistem kenegaraan bagaimana yang sesungguhnya dibutuhkan rakyat sekarang dan ke depan. Kedua, secara khusus karena ada isyu Neo-Liberalisme.
“Intinya”, kata Cak Nun, “Pemerintahan 5 tahun ke depan ini akan menyempurnakan pelaksanaan suatu sistem yang selama ini memang sudah dilaksanakan. Penyempurnaan itu akan membawa kita ke logika bahwa sudah tidak diperlukan lagi adanya Negara, apalagi Pemerintah. Dengan demikian Pemilu juga tidak secara hakiki diperlukan, sebab Pemerintah yang dipilih akan tidak memiliki keberdayaan apa-apa untuk memperjuangkan kebutuhan rakyatnya. Yang disebut Ekonomi Kerakyatan juga tidak masuk akal di dalam Neo-Liberalisme”.
“Kita neo-liberal saja: yang menang adalah siapa yang modalnya kuat dan yang trampil sebagai kapitalis. Tidak diperlukan perlindungan sosial, nurani kemanusiaan, toleransi budaya, juga tidak diperlukan kepercayaan antar manusia dan antar apapun, karena segala sesuatunya ditentukan oleh transasi teknis di manusia tidaklah bisa dipercaya.”
Bahkan menurut Cak Nun, kreativitas seni budaya dan ilmu juga tidak diperlukan, Dewan Kesenian Surabaya hanya dipertahankan oleh kekuasaan untuk pantes-pantes. Kreativitas diperlukan sebatas mau patuh kepada pasar bebas. Yang utama pada manusia bukan martabatnya, keluhuran budinya atau kreativitasnya, melainkan apakah ia bisa memproduk sesuatu yang laku secara keuangan. Dagang dan laku itu penting, tetapi tidak sampai batas menghina martabat manusia dan kemanusiaan seperti yang sekarang berlangsung dan akan lebih disempurnakan keberlangsungannya.

0 komentar:

Posting Komentar

 

Followers

SBY Presidenku Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Copyright © 2009 Gadget Blog is Designed by Ipietoon Sponsored by Online Business Journal